Jumat, 29 Mei 2020

Nasihat jawa kuno

Berikut ini adalah beberapa kumpulan nasihat dan saripati dari kitab-kitab Jawa kuno, yang semoga memberikan manfaat. Selamat merenungi makna-makna yang terkandung di dalamnya.

Serat Wulangreh, ISKS Pakubuwana IV: “Nadayan asor wijilipun, yen kakakuane becik, utawa sugih carita kang dadi misil, iku pantes raketana, darapon mundhak kang budi.”

(Sekalipun keturunan orang biasa, namun jika perilakunya baik, atau banyak pengalaman yang bermanfaat, pantas untuk didekati untuk menambah kebijakanmu)

“Mulane wong anom iku, becik ingkang ataberi, jejagongan lan wong tuwa.”

(Oleh karenanya orang muda itu, seyogyanya rajin berdialog dengan orang tua)

“Nadyan metu saking wong sudra papeki, lamun becik nggone muruk, iku pantes sira anggo.”

(Walau dari seorang yang miskin dan rendah, jika baik ajarannya, itu pantas kamu ikuti)

“Aja ngandelakem sira iku, suteng nata iya sapa kumawani, iku ambeke wong digang, ing wasana dadi asor.”

(Janganlah sombong jika kamu keturunan raja bangsawan dan menganggap tak ada yang berani, itulah sifat adigang, bisa-bisa berakhir hina)

“Anganggoa rereh ririh ngati-ati, den kawang-wang barang laku, kang waskitha solahing wong.”

(Seyogyanya berlakulah sabar, cermat dan hati-hati, perhatikanlah segala perilaku dan cermatlah terhadap perilaku orang)

“Mapan watake manungsa, pan ketemu ing laku lawan linggih, solah muna-muninipun, pan dadi penerengan.”

(Adapun ciri perilaku manusia, akan tampak dari cara berjalan dan cara duduknya, tindak-tanduk dan tutur katanya, itu semua tanda-tandanya)

“Nadyan silih bapa biyung kaki nini, sadulur myang sanak, kalamun muruk tan becik, nora pantes yen den nuta.”

(Meskipun ia ayah ibu kakek nenek, saudara ataupun famili, jika memberi ajaran yang salah, tetap tidak pantas kau ikuti)

“Wong tan manut pitutur wong tuwa ugi, pan nemu duraka, ing dunya praptaning akir, tan wurung kesurang-surang.”

(Orang yang tidak menjunjung nasihat orang tua, akan menemui kutuk sengsara, di dunia sampai akherat, berakhir penderitaan)

“Apan ana sesiku telung prakara, nanging gedhe pribadi, pan iki lirira, ingkang telung prakara, aja anggunggung sireki, kalawan aja nacad kapati-pati, lawan aja memaoni barang karya.”

(Ada tiga jenis pantangan yang paling utama, ketiga hal tersebut adalah jangan menyombongkan diri, jangan mencela, dan jangan mengkritik pekerjaan orang lain)

“Yen dadi nom ing enomipun, kang ginawe tuwa dikaya banyu neng beji, den awening paningale aji samar.”

(Jika ditakdirkan menjadi muda, sadarilah kedudukan mudanya, sedang yang tuwa, jadilah seperti air, jernihkanlah penglihatanmu)

“Tungkul uripe, lan aja duwe kareman, marang pepas dunya, siyang dalu emut, yen urip manggih antaka.”

(Hiduplah dengan tekun dan hati-hati, jangan mengumbar kesenangan dunia, siang malam ingatlah, bahwa hidup berujung kematian)

“Dedalane guna lawan sekti, kudu andhap asor, wani ngalah luhur wekasane, tumungkula yen dipun dukani, bapang den simpangi, ana catur mungkur.”

(Syarat meraih kepandaian dan kesaktian, harus bisa rendah hati, berani mengalah unggul pada akhirnya, menunduklah jika dimarahi, penghalang dihindari, ada perkara ditangguhkan)

“Dadya lakunireku, cegah dhahar lawan guling, lan aja asukan-sukan, anggonira sawatawis, ala watake wing suka, suda prayitnaninng batin.”

(Jadikan ini laku, kurangi makan dan tidur, jangan terlena suka ria, batasilah sekadarnya, tabiat orang bersuka ria itu mengurangi ketajaman batinnya)

“Panggawe becik puniku, gampang yen wus den lakoni, angel yen durung kalakyan.”

(Perbuatan baik itu, gampang jika sudah dijalani, sulit jika belum dilaksanakan)

“Ingkang becik kojahipun, sira anggoa kang pasthi, ingkang ala singgahan, aja sira anglakoni.”

(Segala yang baik, lakukanlah dengan pasti, yang buruk simpanlah, jangan engkau ikuti)

“Aja nganti kabanjur, barang polah ingkang nora jujur, yen kabanjur sayekti kojur tan becik.”

(Jangan berlarut, segala tingkah ketidakjujuran, jika sampai berlarut, pasti hancur dan tidak baik)

“Pan adigang kidang adigung pan esthi, adiguna ula iku, telu pisan mati sampyoh, si kidang ambegipun, angandelaken kebat lumpatipun, pan si gajah ngandelaken geng ainggil, ula ngandelaken iku, mandine kalamun nyakot.”

(Adigang kiasan kijang, Adigung kiasan gajah, Adiguna itu ular, ketiganya binasa bersama. Kijang menyombongkan kecepatan lari, gajah mengandalkan tinggi besarnya, ular mengandalkan gigitannya)

“Titikane wong anom kurang wewadi, bungah akeh wong kang nggunggung, wekasane kejelomprong.”

(Ciri-ciri anak muda itu tidak bisa menyimpan rahasia, senang dipuji, padahal itu menjerumuskan)

“Yen wong anom puniku, kakehan panggunggung dadi kumprung, pengung bingung wekasane pan angoling, yen ginunggung muncu-muncu, kaya wudun meh mechotot.”

(Orang muda itu, jika terlalu banyak dipuji menjadi tolol, bodoh, bingung, dan akhirnya terombang-ambing, jika sedang dipuji, monyong seperti bisul hampir pecah)

“Aja kakehan sanggup, durung weruh tutue agupruk, tutur nempil panganggepe wruh pribadi.”

(Jangan merasa tahu banyak, belum melihat sendiri sudah banyak bercerita, hanya mendengar saja merasa seperti melihat sendiri)

“Yen sira amaca, layang sabarng layanging, aja pijer katungkul ningali sastra, caritane ala becik dipunweruhi, nuli rasakna.”

(Jika engkau membaca, segala macam kitab, jangan hanya terpukau pada sastra, paparan baik buruknya harus dipahami, kemudian renungkanlah

ILMU RASA

Banyak orang yang bertanya, mengapa dalam mempelajari Agama mesti harus mengenal Rasa ? Memang kalau hanya sampai pada tingkat Syariat, bab rasa tidak pernah dibicarakan atau disinggung. Tetapi pada tingkat Tarekat keatas bab rasa ini mulai disinggung. Karena bila belajar ilmu Agama itu berarti mulai mengenal siapa Sang Percipta itu.

Karena ALLAH maha GHOIB maka dalam mengenal hal GHOIB kita wajib mengaji rasa.

Jadi jelas berbeda dengan tingkat syariat yang memang mengaji telinga dan mulut saja.Dan mereka hanya yakin akan hasil kerja panca inderanya.Bukan Batin!

Bab rasa dapat dibagi dalam beberapa golongan .Yaitu : RASA TUNGGAL, SEJATINYA RASA, RASA SEJATI, RASA TUNGGAL JATI.

Mengaji Rasa sangat diperlukan dalam mengenal GHOIB.Karena hanya dengan mengaji rasa yang dimiliki oleh batin itulah maka kita akan mengenal dalam arti yang sebenarnya,apa itu GHOIB.

1. RASA TUNGGAL

Yang empunya Rasa Tunggal ini ialah jasad/jasmani. Yaitu rasa lelah, lemah dan capai. Kalau Rasa lapar dan haus itu bukan milik jasmani melainkan milik nafsu.

Mengapa jasmani memiliki rasa Tunggal ini. Karena sesungguhnya dalam jasmani/jasad ada penguasanya/penunggunya. Orang tentu mengenal nama QODHAM atau ALIF LAM ALIF. Itulah sebabnya maka didalam AL QUR’AN, ALLAH memerintahkan agar kita mau merawat jasad/jasmani. Kalau perlu, kita harus menanyakan kepada orang yang ahli/mengerti. Selain merawatnya agar tidak terkena penyakit jasmani, kita pun harus merawatnya agar tidak menjadi korban karena ulah hawa nafsu maka jasad kedinginan, kepanasan ataupun masuk angin.

Bila soal-soal ini kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, niscaya jasad kita juga tahu terima kasih. Kalau dia kita perlakukan dengan baik, maka kebaikan kita pun akan dibalas dengan kebaikan pula. Karena sesungguhnya jasad itu pakaian sementara untuk hidup  sementara dialam fana ini. Kalau selama hidup jasad kita rawat dengan sungguh-sungguh (kita bersihkan 2 x sehari/mandi, sebelum puasa keramas, sebelum sholat berwudhu dulu, dan tidak menjadi korban hawa nafsu, serta kita lindungi dari pengaruh alam), maka dikala hendak mati jasad yang sudah suci itu pasti akan mau diajak bersama-sama kembali keasal, untuk kembali ke sang pencipta. Seperti halnya kita bersama-sama pada waktu dating/lahir kealam fana ini. Mati yang demikian dinamakan mati Tilem (tidur) atau mati sempurna. Pandangan yang kita lakukan malah sebaliknya. Mati dengan meninggalkan jasad. Kalau jasad sampai dikubur, maka QODHAM atau ALIF LAM ALIF, akan mengalami siksa kubur. Dan kelak dihari kiamat akan dibangkitkan.

Dalam mencari nafkah baik lahir maupun batin, jangan mengabaikan jasad. Jangan melupakan waktu istirahat. Sebab itu ALLAH ciptakan waktu 24 jam (8 jam untuk mencari nafkah, 8 jam untuk beribadah, dan 8 jam untuk beristirahat). Juga dalam hal berpuasa, jangan sampai mengabaikan jasad. Sebab itu ALLAH tidak suka yang berlebih-lebihan. Karena yang suka berlebih-lebihan itu adalah Dzad (angan-angan). Karena dzad mempunyai sifat selalu tidak merasa puas.

2. SEJATINYA RASA

Apapun yang datangnya dari luar tubuh dan menimbulkan adanya rasa, maka rasa itu dinamakan sejatinya rasa. Jadi sejatinya rasa adalah milik panca indera:

  1. MATA : Senang karena mata dapat melihat sesuatu yang indah atau tidak senang bila mata melihat hal-hal yang tidak pada tenpatnya.

  2. TELINGA : Senang karena mendengar suara yang merdu atau tidak senang mendengar isu atau fitnahan orang.

  3. HIDUNG : Senang mencium bebauan wangi/harum atau tidak senang mencium  bebauan yang busuk.

  4. KULIT : Senang kalau bersinggungan dengan orang yang disayang atau tidak senang  bersunggungan dengan orang yang nerpenyakitan.

  5. LIDAH : Senang makan atau minum yang enak-enak atau tidak senang memakan makanan yang busuk.

3. RASA SEJATI

Rasa sejati akan timbul bila terdapat rangsangan dari luar, dan dari tubuh kita akan mengeluarkan sesuatu. Pada waktu keluarnya sesuatu dari tubuh kita itu, maka timbul Rasa Sejati. Untuk jelasnya lagi Rasa Sejati timbul pada waktu klimaks/pada waktu melakukan hubungan seksual.

4. RASA TUNGGAL JATI

Rasa Tunggal Jati sering diperoleh oleh mereka yang sudah dapat melakukan Meraga Sukma (keluar dari jasad) dan Solat Dha’im.
Beda antara Meraga Sukma dan Sholat Dha’im ialah :

  1. Kalau Meraga Sukma jasad masih ada.batin keluar dan dapat pergi kemana saja.

  2. Kalau Sholat Dha’im jasad dan batin kembali keujud Nur dan lalu dapat pergi kemana  saja yang dikehendaki. Juga dapat kembali / bepergian ke ALAM LAUHUL MAKHFUZ.

Bila kita Meraga Sukma maupun sholat Dha’im, mula pertama dari ujung kaki akan terasa seperti ada “aliran“ yang menuju ke atas / kekepala. Pada Meraga sukma, bila “aliran“ itu setibanya didada akan menimbulkan rasa ragu-ragu/khawatir atau was-was. Bila kita ikhlas, maka kejadian selanjutnya kita dapat keluar dari jasad, dan yang keluar itu ternyata masih memiliki jasad. Memang sesungguhnyalah, bahwa setiap manusia itu memiliki 3 buah wadah lagi, selain jasad/jasmani yang tampak oleh mata lahir ini. Pada bagian lain bab ini akan kita kupas.Kalau sholat Dha’im bertepatan dengan adanya “Aliran“ dari arah ujung kaki, maka dengan cepat bagian tubuh kita akan “Menghilang“ dan kita akan berubah menjadi seberkas Nur sebesar biji ketumbar dibelah 7 bagian. Bercahaya bagai sebutir berlian yang berkilauan. Nah, rasa keluar dari jasad atau rasa berubah menjadi setitik Nur. Nur inilah yang disebut sebagai Rasa Tunggal Jati. Selain itu, baik dalam Meraga Sukma maupun Sholat Dha’im. Bila hendak bepergian kemana-mana kita tinggal meniatkan saja maka sudah sampai. Rasa ini juga dapat disebut Rasa Tunggal Jati. Sebab dalam bepergian itu kita sudah tidak merasakan haus, lapar, kehausan, kedinginan dan lain sebagainya. Bagi mereka yang berkeinginan untuk dapat melakukan Meraga Sukma dianjurkan untuk sering Tirakat/Kannat puasa. Jadikanlah puasa itu sebagai suatu kegemaran. Dan yang penting juga jangan dilupakan melakukan Dzikir gabungan NAFI-ISBAT dan QOLBU. Dalam sehari-hari sudah pada tahapan lillahi ta’ala.

Hal ini berlaku baik mereka yang menghendaki untuk dapat melakukan SHOLAT DHA’IM. Kalau Meraga Sukma mempergunakan Nur ALLAH, tapi bila SHOLAT DHA’IM sudah mempergunakan Nur ILLAHI. Karena ada Rasa Sejati, maka Rasa merupakan asal usul segala sesuatu yang ada. Oleh sebab itu bila hendak mendalami ilmu MA’RIFAT Islam dianjurkan untuk selalu bertindak berdasarkan rasa. Artinya jangan membenci, jangan menaruh dendam, jangan iri, jangan sirik, jangan bertindak sembrono, jangan bertindak kasar terhadap sesame manusia, dll. Sebab dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, kita ini semua sama , karena masing-masing memiliki rasa. Rasa merupakan lingkaran penghubung antara etika pergaulan antar manusia, juga sebagai lingkaran penghubung pergaulan umat dengan Penciptanya. Rasa Tunggal jati ini mempunyai arti dan makna yang luas. Karena bagai hidup itu sendiri. Apapun yang hidup mempunyai arti. Dan apapun yang mempunyai arti itu hidup. Sama halnya apapun yang hidup mempunyai Rasa. Dan apapun yang mempunyai Rasa itu Hidup.

Dengan penjelasan ini, maka dapat diambil kesimpilan bahwa yang mendiami Rasa itu adalah Hidup. Dan Hidup itu sendiri ialah Sang Pencipta/ALLAH. Padahal kita semua ini umat yang hidup. Jadi sama ada Penciptanya. Oleh sebab itu, umat manusia harus saling menghormati, tidak saling merugikan, bahkan harus saling tolong menolang dll.

Dan hal ini sesuai dalam firman ALLAH : “HAI MANUSIA! MASUKLAH KALIAN DALAM PERDAMAIAN, JANGAN BERPECAH BELAH MENGIKUTI LANGKAH SYAITAN, SESUNGGUHNYA SYAITAN ITU MUSUHMU YANG NYATA”

WEJANGAN HIDUP DALAM KEHIDUPAN

LABETING KARTIYASA

Labeting kartiyasa punika
Awit saking pambudayaning gita dursila
Rinuwat kanthi mrihatini adrenging karsa
Ngubara lan ngumbara miyat dumununging kamitran.

Amangsuli prahara bebendu ageng
Tan ginayuh hastaning mamilat brata
Wosing rasa kang ginubel graito
Graitaning karsa, dumununging cipta.

Tan ana angkara
Tan ana rubeda
Tan ana dursila
Tan ana tandang duraka.

Jejer anyar
Gagrak anyar
Titah anyar
Jagad anyar
Sarwa gumebyar
Tan ana kang samar
Tansah suminar
Magilar-magilar
Anggelar tulusing nalar.

Budi pinilih, luhur angarih-arih
Masa wurunga karsaning Jati
Hangesti drajading titah
Hawya miruda kang kinarsa ing Allah
Kabeh saka telenging jangkah
Kabeh awit gumelaring pratingkah
Kabeh ngemu tulusing ibadah.

Ngaminana marang donga kang pinuji
Kunjuk Ing Ngarsaning Maha Ji
Humangkara
Humangrasa
Hamungwat trikarsa
Hamungwing baskara
Hamungwing jumantara.

Ngadep Rabbul Ngalamin
Welasing Gusti
Ingkang Maha Sih.

Muliha, muliha, muliha
Muliha mring pancardriya
Balia mring panaraga.

Mawanti-wanti, angati-ati
Aja kongsi keri nunggang jung baitagung,
Kang dinayung malaikat hambaruyung
Dipandhegani dening para nabi
Sinangga mring para wali.

Kinebakan jamna utami
Mulyaning manusa jati
Kang pinilih dening Gusti
Kapilah saking ngalamipun
Awit driyanira mung nyawiji,
Kabeh kagungane Allah.

Mula aja noleh
Mula kudu mantheng
Katuta baitagung
Nyuwuna palilahe Hyang Agung
Awit kuwi Kagunganipun.

Aja ninggal trapsila
Aja nggugu kersaning pribadi
Aja dumeh wus katam kitabe
Najan wus apal dongane
Najan wus guntur sujude
Ning durung kaparingan ridhaning Allah.

Mula dudu rapale, ning atine
Mula dudu wujude, ning lire
Mula dudu jlegere, ning makripate.

Poma, sindukara karaning ronsih
Sawunging swara sawang suwung
Gebyaring gebyur gambyong grambyangan
Rinakit, rinasa, rapita, retyakaning radya.

Jung, jung baitagung
Wus tinata ambaruyung
Lir grimis handaridis
Re-rep pantiarsaning resep
Pindha tilasing atilas tulus.

Tlusurana sing tlaten
Anggita gitaning suksma
Andungkap sunaring padhang
Njingglang ngawang-awang.

Hamung sawiji kang kinanthi
Wahyuning Hyang Widhi,
Kang pinuji-puji.
Wus pupus barang kalire.

WAHDATULWUJUD

Wujuding wijil wahyuning wangsit
Wiyoto woting waskitha kang winasis
Jajaning janma jatining jasad
Jumujuging jaladara jantra jinajah.
” Wujud keluarnya ilham
” melalui orang yang mengerti yang terpelajar
” dada manusia sejatinya jasad
” menuju ke alam jajahan

Amrih amining amaranti
Amina mastani mantra mastadi
Samudananing samudra samun
Sesongaran sasat susantiningrum.
” supaya perkataanya merata
” boleh dikatakan mantra mastadi
” berkedok berlindung di samudra ( mungkin mengatasnamakan kekuatan mayoritas)
” sombong/ugal ugalan menjadi pedomannya

Mungguh asmaning mung kanggo mupus
Dipeh prana nalika daruna dumateng
Tebining dhandhaka anyatrani
Lubering ludira anebaki daruni.
” namanya hanya untuk meredam
” cuma pas bisa melihat waktu kesedihan datang
” luasnya “dhandhaka” menyertai
” lubernya darah memenuhi hati/kesedihan

Najan hamung kinanthi sih utami
Awit diniyati tan kenging rinuyit,
Anggraitaa murih wekasanipun jrih
Muncrat handalidir mring bantala.
” walau hanya dengan kasih sayang
” sudah diniyati sebagai pegangan
” merasalah supaya akhirnya takut
” menyembur membasahi/mengaliri bumi(sujud syukur)

Tiba grahaning Hyang Suksma
Memitri awit saking nggenira
Njangkah tan angoncati
Tibaning Rohul Kudus amrih miranti.
” tiba ke tempat Hyang Suksma
” melihat karena keteguhanmu
” yang berjalan tanpa meninggalkanNya
” keluarnya “rohul kudus” supaya dapat berguna

Jinantra ontran-ontran kang amurwat
Murwating angkara murka
Nabrak, nunjang, ngobok-obok
Nggelar kadurjanan
Ngobrak-abrik tatanan
Salang-tunjang
Gede-cilik tanpa wirang.
” pada jaman kerusuhan yang tak lazim
” lazimnya angkara murka
” sengaja menabrak, menggeser, mengobok obok(tatanan)
” mengadakan hal hal yang bertentangan dengan adat (maling,jambret dsb)
” mngorak abrik tatanan yang berlaku (hukum adat)
” berebutan
” tua muda tak punya malu

Ana jalma mimba Gusti
Ngaku Allah sinarawedi
Ngendi ana titah padha karo Gusti
Kadunungan iblis pinasthi.
” ada manusia mengaku aku Tuhan
” dan mengaku sodara Allah
” mana ada manusia(ciptaan) mengaku sama dengan Tuhan
” dapat dipastikan itu iblis/setan

Manunggal kuwi ‘ra teges sami
Hamung celak raket ring Gusti
Hamung Allah kang pinuji-puji
Ya mung jalma najan wali.
” bersatu bukan berarti sama
” hanya dekat dengan Tuhan
” hanya Tuhan Allah yang patut disembah
” semua hanya manusia walau wali sekalipun

Nyuwun ngapura mring Hyang Widhi
Wani nranyak mring Malikul’alam
Wus madhani Sing Gawe Urip
Dudu kuwi wahdatulwujud.
” minta ampunan kepada Tuhan
” karena berani kepada sang Pencipta Alam
” sudah menyamakan diri dengan Tuhan
” bukan itu arti wahdatulwujud

Sing bener kuwi ya mung aran titah
Ora samar angambrah-ambrah
Aja nerak hukume lumrah
Kawistra ora narimah.
” yang benar itu cuma dapat disebut hamba
” yang tidak kuatir yang berlebihan
” jangan melanggar hukum alam
” nanti akan terlihat tidak bersyukur

Duh Gusti Kang Maha Lestari
Mugi kersa paring lubering pangastuti
Kang samya memesu ring karsaning Gusti
Najan sasarsusur yekti.
” ya Tuhan yang Maha Langgeng/tak pernah mati
” smoga sudi memberi limpahan Rahmat
” kepada orang yang mendekatkan diri melaksanakan kehendakMu
” walau masih banyak salah dalam menjalaninya

WAHDATULWUJUD

Wujuding wijil wahyuning wangsit
Wiyoto woting waskitha kang winasis
Jajaning janma jatining jasad
Jumujuging jaladara jantra jinajah.
Amrih amining amaranti
Amina mastani mantra mastadi
Samudananing samudra samun
Sesongaran sasat susantiningrum.
Mungguh asmaning mung kanggo mupus
Dipeh prana nalika daruna dumateng
Tebining dhandhaka anyatrani
Lubering ludira anebaki daruni.
Najan hamung kinanthi sih utami
Awit diniyati tan kenging rinuyit,
Anggraitaa murih wekasanipun jrih
Muncrat handalidir mring bantala.
Tiba grahaning Hyang Suksma
Memitri awit saking nggenira
Njangkah tan angoncati
Tibaning Rohul Kudus amrih miranti.
Jinantra ontran-ontran kang amurwat
Murwating angkara murka
Nabrak, nunjang, ngobok-obok
Nggelar kadurjanan
Ngobrak-abrik tatanan
Salang-tunjang
Gede-cilik tanpa wirang.
Ana jalma mimba Gusti
Ngaku Allah sinarawedi
Ngendi ana titah padha karo Gusti
Kadunungan iblis pinasthi.
Manunggal kuwi ‘ra teges sami
Hamung celak raket ring Gusti
Hamung Allah kang pinuji-puji
Ya mung jalma najan wali.
Nyuwun ngapura mring Hyang Widhi
Wani nranyak mring Malikul’alam
Wus madhani Sing Gawe Urip
Dudu kuwi wahdatulwujud.
Sing bener kuwi ya mung aran titah
Ora samar angambrah-ambrah
Aja nerak hukume lumrah
Kawistra ora narimah.
Duh Gusti Kang Maha Lestari
Mugi kersa paring lubering pangastuti
Kang samya memesu ring karsaning Gusti
Najan sasarsusur yekti.

JATINE SEJATI

Zikir Ilmu Sejati atau Sejatining Ilmu



Ilmu sejati menurut Paguyuban Pangarso Budi Utomo Roso Manunggal Jati adalah merupakan ilmu yang sebenar – benarnya ilmu. Ilmu sejati atau sejatining ilmu, dalam bahasa religius disebut ilmu hakikat.
Bila direnungkan dalam kejernihan rasa, apa yang disebut ilmu sejati atau sejatining ilmu, itu apa Lantas seperti apa? Sehingga banyak orang penasaran dan memburu ilmu sejati.
Dalam samudra rohani, bab ilmu batin untuk menemukan ilmu sejati, harus memfokuskan pada diri sendiri yaitu memasuki diri pribadi atau batinnya. Dalam khasanah budaya kebatinan, memasuki batin berarti menjalankan tirakat tarak brata, babagan ilmu sejati untuk mencapai sesuatu melalui jalan spiritual.
Karena yang dibahas babagan bab yang gaib atau kerohanian, kepercayaan, cara menempuhnya melalui jalan sunyi. Sunyi yang dimaksudkan bukan kesunyian malam hari atau suasana malam yang pekat, suasana alam sekitar di luar diri manusia, tetapi disini yang dimaksud adalah kesunyian batin dan rohani, sedangkan sunyi yang dituju adalah “SUNYI RURI” artinya Ngambah Alam Sunya Ruri.
Bila kita membahas ilmu batin, semakin lama semakin asyik, menyenangkan karena menyangkut kelembutan, kejernihan batin, hal yang samar, yang gaib untuk menuju alam yang begitu rumit dan berat, ibarat bagaikan mencari sarang angin. Namun bila sudah sampai waktu ketemu walaupun di pintunya, maka semuanya menjadi terang dan jelas. Semua yang samar menjadi jelas, yang gaib menjadi nyata.
Untuk sampai pada yang dituju, maka ditempuh dengan jalan tarak brata, tirakat dikatakan berat ya berat, dikatakan ringan ya ringan dan dikatakan lama juga lama, dikatakan cepat juga cepat tergantung terhadap individu masing-masing. Jalannya dengan patrap semedi, mengheningkan cipta, tafakur memuji Allah Yang Maha Esa, dengan demikian laku ini berarti berjalan menuju Tuhan Yang Maha Esa? Makna dan syaratnya harus suci dan bersih, bukan saja bersih jiwa juga angan-angan, keinginan-keinginan harus bersih, harus benar-benar kosong tanpa permintaan apapun.
Walau fokusnya pikiran hanya mempelajari keanugrahan Tuhan Yang Maha Esa, hikmah dan sejenisnya, harus sepi ing pamrih, apabila ada sedikit saja rasa pamrih akan mengalami hambatan, kesulitan menerima sasmito atau perlambang.
Perilaku memesu raga harus benar-benar pasrah terhadap kehendak Allah Yang Maha Esa hingga wening jiwa sampai terasanyep, hilang semua nafsu, keinginan, sirep atau hilangnya semua keinginan suci jiwa menyatu dengan Hyang Widdhi, maka pada giliran yang akan mengalami layapnya aluputngelangut, kondisi ini berarti bahwa rohani tanpa batas, hampa, kosong, tenang, luas tidak ada batasnya. Itulah …. Sunyi ruri, tapi ada pengingat agar senantiasa waspada dengan apa yang dilihat. Sebab berdirinya sukma murbo, yakni zat yang tidak kasat mata, tidak bersifat, tanpa nama, tidak bisa disebut seperti apa, itulah yang meliputi semua yang tergelar di jagat raya.
Untuk menghidupkan batin, dalam laku dengan cara tafakur, memejamkan mata seperti perintah-Nya “Merem Sing Dipet” (pejamkan mata yang rapat). Dengan memejamkan mata yang rapat, maka konsentrasi akan tertuju pada satu titik, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, agar mubah dunia ada dalam pikiran bisa sirep, harus berjalan di atas rel, garis rel yang dimaksud adalah zikir menurut Paguyuban Pangarso Budi Utomo Roso Manunggal Jati, ini sarinya zikir yaitu “Huu … Allah …”
Zikir Huu Allah ini diatur sedimikian mengikuti alur keluar masuknya napas, fokus konsentrasi pada napas, saat menghirup disertai memuji … Huu, ketika menghembuskan nafas dibarengi menyebut Allah, zikir demikian dilakukan terus menerus jangan sampai kemasukan pikiran yang aneka warna, bila sudah mampu berjalan diatas jalur zikir “Huu … Allah …” yang di baca terus – menerus hingga ngelangut, pada akhirnya akan dihempas cahaya, gebyaran cahaya yang membawa jiwa kita pindah ke alam lain, laksana mimpi, kita akan melihat dan mengalami sesuatu, bisa melihat ke zaman jauh sebelum kita lahir atau menjangkau ke waktu sebelum terjadi atau yang akan datang. Hal tersebut bisa tercapai bila ditempuh dengan cara meditasi tarak brata.

Dasar meditas tarak brata Paguyuban Pangarso Budi Utomo Roso Manunggal Jati berpegang pada :
A.   Panca Walika
  1. Kudu tresno sepadaning urip
  2. Hora keno nerak wewalering negoro
  3. Hora keno nerak sing dudu sakmesthine
  4. Hora sepata hanyepatani
  5. Hora cidra hing upaya (janji)
Rerangkepe :
Hora butuh rewang
Hora butuh musuh
Butuhe kabecikan (becik)
B.    Catur Upaya
1.     Hanirupa kang becik
2.    Hanuruta kang bener
3.    Hangguguha kang nyata
4.    Hamiliha kang pikoleh
C.    Jroning Makartekake Pakarti Kang Gegayutan Karo Gayuh
  1. Aja gumampang
  2. Aja nggampangake
  3. Aja golek gampang
Mungguh kang sameshine makarti kanti satiti, nyuwun tuntunaning sari.
Demikianlah uraian zikir ilmu sejati atau sejatining ilmu menurut Paguyuban Pangarso Budi  Utomo Roso Manunggal Jati.
Penuh harapan bisa menambah cakrawala spiritual yang kita tekuni dan apabila ada kesalahan dan kekurangan, saya mohon maaf sedalam-dalamnya. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat saya harapkan.

Kamis, 28 Mei 2020

INSUN SEJATI

AKSES INGSUN SEJATI (JUMBUHING KAWULO GUSTI)

(di sadur dari tulisan AN Ubaidy dan Qolbu.net)

Di dalam mengarungi samodra kehidupan di dunia, kita harus mengetahui potensi-potensi yg merupakan anugerah Allah ta’ala kepada manusia. Hal ini masih ada hubungannya dengan Guru Sejati yg dijelas-kan pada bab 1. Untuk mengetahui lebih jauh, baca terus buku ini:

Dalam kitab ‘Sirr al-Asrar’ yang berisi kumpulan ajaran Syaikh Abdul Qadir al-Jilani didapati keterangan bahwa pada awalnya manusia dicipta oleh Allah SWT di alam lâhût (alam dimensi ketuhanan). Manusia awal itu adalah manusia yang masih berwujud ruh (jiwa) yang sangat murni, yang disebut rûh al-quds.

Ruh al-Quds dicipta langsung oleh Allah SWT dan didalam nya terkandung disain serta program-program (rencana-rencana) Allah, juga sifat-sifat Allah, yang sifatnya sangat misterius (sirri). Maka Ruh al-Quds disebut juga Sirr (rahasia). Allah SWT adalah cahaya (QS an-Nûr 24). Ruh al-Quds yang dicipta langsung oleh Sang Cahaya pun mengandung cahaya yang sangat murni, yang memiliki tingkat radiasi sangat tinggi.

Dalam kitab itu juga dikatakan bahwa alam memiliki lapis-lapis dimensional yang berbeda:

1. Alam Lâhût, alam dimensi ketuhanan.

2. Alam Jabarût, alam ilmu, ketentuan, rencana dan takdir.
3. Alam Malakût, alam para malaikat, alam ruh, alam enerji.
4. Alam Mulki, alam fisik, alam nyata.

Ketika Rûh al-Quds akan diturunkan dari alam lâhût ke alam jabarût ia dibalut lebih dulu dengan lapisan Ruh as-Shulthâny. Sebab kalau tidak, radiasi cahaya Ruh al-Quds yang sangat murni dan teramat kuat itu akan membakar semua yang ada di alam jabarut. Ruh as-Sulthany adalah mantel (hijâb) bagi Ruh al-Quds. Ruh as-Shulthany dise-but juga dengan Fuâd.

Lalu Ruh al-Quds (Sirr) yang sudah dibalut dengan Ruh as-Sulthany (Fu’ad) diturunkan ke alam level-3, yaitu alam malakût. Namun alam malakut lebih materiallized daripada alam-alam sebelumnya, dan apa yang ada di dalamnya akan mu-dah terbakar oleh radiasi cahaya Ruh al-Quds meskipun sudah dibalut dengan Ruh as-Sulthany. Oleh sebab itu sebelum diturunkan ke alam malakut, Ruh al-Quds yang sudah dengan Ruh as-Sulthany, dibalut lagi dengan Rûh ar-Rûhâny. Ruh lapis ketiga ini disebut juga Qalbu.

Selanjutnya Ruh al-Quds (Sirr), yang sudah dibalut dengan Ruh as-Sulthany (Fuad) dan Ruh ar-Ruhaniyah (Qalbu), diturunkan lagi ke alam level-4 yaitu alam mulki. Inilah alam kosmik yang sekarang dapat kita lihat secara visual dengan mata kepala kita. Alam kosmik wujudnya sangat lahiriah dan dapat dikenali secara empirik (terukur). Namun ra-diasi cahaya Ruh al-Quds, meski sudah dibalut dengan dua lapis ruh lainnya, masih terlalu tinggi bagi alam ini. Apa yang ada di alam mulki dapat terbakar oleh radiasi cahaya Ruh al-Quds. Untuk itu, sebelum diturunkan ke alam mulki, Ruh al-Quds dibalut lagi dengan lapis ke-3 yaitu Rûh al-Jismâny yang untuk mudah-nya sering disebut dengan Rûh saja. Untuk lebih jelasnya lihatlah tabel berikut ini.

AlamRûh(Nafs)
LâhûtRûh al-QudsSirr
JabarûtRûh as-SulthanyFu’ad
MalakûtRûh ar-RûhânyQalbu
MulkiRûh al-JismânyRûh

Diri (nafs) kita yang hakiki dalah diri yang berwujud ruh (jiwa). Tubuh biologis kita hanyalah cangkang atau wadah bagi diri kita yang sesungguhnya, yaitu ruh. Di dalam rûh ada qalbu, di dalam qalbu ada fuâd dan di dalam fuad ada sirr. Sirr adalah rahasia. Sirr berisi rahasia-rahasia Allah untuk orang itu berupa sifat-sifat Allah, rencana dan takdir Allah. Sirr terhubung langsung dengan Allah SWT. Dikenal pula istilah lubb yang jamaknya albâb. Surat Ali Imran ayat 190 & 191 menyebut Uli al-Albâb sebagai individu yang selalu BERDZIKIR, BERFIKIR, DAN BERIBADAH.

Apa arti lubb? Kalau kita menebang sebatang pohon, lalu kita perhatikan penampang potongannya, akan terlihat di bagian tengah dari batang pohon itu ada bagian yang berwarna kecoklatan. Itulah inti dari batang pohon tersebut. Bahasa Arab menyebutnya lubb. Qalbu adalah lubb bagi ruh. Intinya ruh adalah qalbu, intinya qalbu adalah fu’ad, dan intinya fuad adalah sirr. Sirr adalah inti dari segala inti, yang mengan-dung rahasia dari segala rahasia, sehingga disebut Sirr al-Asrar (secret of the secrets). Namun untuk tahap permulaan mempelajari tashawuf cukuplah orang memahami ruh dan intinya saja, yaitu qalbu.

Nilai-nilai spiritual Jawa mengajarkan kita agar selalu memba-ngun hubungan yang harmonis dengan Sang Gusti atau Tuhan atau biasa disebut dengan istilah JUMBUHING KAWULO GUSTI. Jumbuh itu hubungan yang baik atau harmonis. Kata “ing” di situ bisa kita pahami seperti kata “ing” dalam ba-hasa Inggris yang kerap berfungsi menjadi Gerund, seper-ti dalam kata look menjadi lookingsearch menjadi searching, dan sete-rusnya, atau Masdardalam bahasa Arab.

Lalu siapa itu kawulo? Menurut nilai-nilai spiritual Jawa, kawulo itu kita semua. Semua orang adalah kawulo atau hamba. Tugas kawulo adalah menjalankan apa yang diperintahkan Gustinya. Meski manusia itu diposisikan sebagai kawulo, tapi pengertian kawulo di sini bukan kawulo yang manut asal manut secara pasrah-kalah atau pasif-lemah, seperti layaknya kawulo pada manusia.

Pengertian kawulo dalam ajaran spiritual Jawa adalah hamba yang menyadari tugas utamanya, potensi yang ada di dalam dirinya, atau peranan yang harus dijalaninya. Ini bisa kita lihat dari pesan-pesan fundamental dalam pewayangan. Secara umum, pewayangan mengajar-kan tiga hal kepada kawulo:

 

Pertama, kawulo perlu menyadari bahwa di dunia ini ada kebaikan dan keburukan, kejahatan dan kesalehan, kesalahan dan kebenaran, energi positif dan energi negatif, dan sete-rusnya.

 

Kedua, tugas kawulo adalah memilih atau tepatnya memper-juangkan yang positif, yang baik, yang saleh dan melawan yang tidak baik, yang menyimpang, atau melawan energi negatif. Kawulo punya tugas berjuang, bukan menunggu nasib atau pasrah pada keadaan atau terlalu memberi toleransi pada keburukan.

 

Ketiga, memberikan bukti sejarah atau fakta-fakta realitas bahwa siapa yang memperjuangkan kebaikan, kebenaran, kema-slahatan itu akhirnya pasti mendapatkan kemenangan, meski di tengah-tengahnya sering mengalami kekalahan oleh kekuatan jahat. Kita disuruh mencontoh Pendowo atau Satria dan dila-rang mencontoh kehidupan Kurowo dan kroninya.

Jadi, kawulo di situ adalah pejuang gagasan, ide, nilai-nilai, atau prinsip sebagai bukti keharmonisan hubungan. Sedangkan untuk istilah Gusti, masyarakat Jawa tempo dulu menggunakannya untuk menyebut orang atau Dzat yang tinggi atau Yang Maha Tinggi. Karena itu, untuk menyebut Tuhan, disebutnya Gusti Allah. Sedangkan untuk pembesar ma-syarakat, seperti raja disebutnya gusti. Bahkan sampai sekarang, putra kyai di Jawa masih dipanggil gus, seperti Gus Dur, Gus Mus, dan seterus-nya, entah itu singkatan dari den bagus atau gusti (orang yang punya derajat tinggi).

Terlepas apapun pengertiannya, tapi dari sini bisa kita lihat bah-wa masyarakat Jawa tempo dulu sudah mengalami transformasi spiritual yang cukup dahsyat, sama seperti bangsa-bangsa besar lain di dunia, seperti Yunani, Mesir, dan lain-lain, yang membuat mereka punya basis yang kuat untuk berkesimpulan bahwa di jagat raya ini ada kekuatan agung yang disebutnya Gusti atau Tuhan.

Karena itu, menurut nilai-nilai spiritual Jawa, orang yang masih mempertanyakan keberadaan Tuhan di abad milinium ini dianggapnya sangat ketinggalan zaman, yang disebabkan oleh ketertinggalannya membaca ayat-ayat (tanda-tanda) alam atau dianggap sebagai orang yang spiritualnya tidak menga-lami developping.

INGSUN SEJATI SEBAGAI PROSES

Memahami seperti apa itu Ingsun Sejati memang rumit. Ini tidak hanya di nilai-nilai spiritual Jawa. Di kajian Psikologi atau HRD (Human Resource Development) sekalipun, penjelasan mengenai diri (ingsun) sejati (real/truth) itu tidak cukup dijelaskan dengan kata-kata yang ada. Cuma, baik di Jawa atau di ilmu pengetahuan modern, menjadi Ingsun Sejati itu bukan hasil, melainkan proses yang terus menerus perlu diperjuangkan oleh kawulo.

Dari perspektif spiritual, bisa disimpulkan bahwa menjadi Ingsun Sejati itu baru bisa diraih apabila kita sudah selalu menjalankan kesadaran untuk berperan di berbagai bidang yang tujuan dan caranya adalah kebaikan, kebenaran, atau kemaslahatan, baik itu untuk diri sendiri dan orang lain, karena kita menyadari itulah perintah Gusti kepada kita dan itulah alasan kenapa Gusti itu memberikan sekian anugerah dan nikmat kepada kita.

Kalau kita lihat di kajian ilmu pengetahuan modern, sebagian besar esensi dari Ingsun Sejati itu sama, kecuali pada tujuan akhir dan pada penjelasan yang lebih konkret un-tuk cara berpikir yang dianut orang sekarang. Di kajian ilmu pengetahuan, Gusti tidak dinyatakan sebagai tujuan akhir dari proses penggalian karena (mungkin) dinilai masuk wila-yah pribadi. Esensi INGSUN SEJATI kalau merujuk pada kon-disi modern saat ini, bisa kita lihat dari beberapa indikatornya seperti berikut ini, antara lain :

1) ELING LAN WASPADA:

Eling maksudnya yakni tidak akan kehilangan persepsi obyektif dan rasional terhadap dirinya dan ingsun sejati punya pemahaman, dan punya penerimaan yang akurat terhadap dirinya. Tanda-tandanya adalah tidak minder dan tidak berle-bihan; tidak rendah diri dan tidak pula tinggi hati; tidak inferior dan tidak superior.

Eling lan waspada juga mencakup kemampuan berkesadaran terhadap munculnya berbagai emosi dan rasa yang muncul, disertai dengan kemampuan mengolah rosonya. Tanda-tandanya adalah punya kemampuan dalam menangani persoalan dengan proporsional, punya kendali diri yang pas, tidak kurang tidak lebih, tidak berlebihan menang-gapi kesenangan atau kesedihan, tetap bisa fokus pada hal-hal positif di tengah kekacauan atau kemapanan, tidak menjadi sombong dan lupa diri (dumeh).

 2) UNGGAHUNGGUH:

Punya kemampuan beretika yang tinggi di dalam menjalankan kehidupannya, mampu mengekspresikan perasaan dan keinginan, rasa karsa secara konstruktif dan efektif. Tanda-tandanya adalah mampu memikirkan dan memilih sikap dan ungkapan yang bagus dalam berkomu-nikasi atau mengkomonikasikan sesuatu kepada orang lain, mampu memi-lih tindakan dengan memikirkan konsekuensinya pada orang lain di luar dirinya atau keluarganya.

3) SUMARAH, SUMELEH DAN SUMRAMBAH:

Ketiga elemen ini jika di satukan secara umum digambarkan seperti punya kematangan dan keberlimpahan emosi, bahagia pada dirinya (contentment) atau punya kemandirian mental, kesabaran yang benar, tidak mudah tertusuk perasaannya oleh orang lain, tidak mudah merasa merana, rasional dalam menyelesaikan persoalan, tidak mudah terbuai oleh hal-hal yang menipu, serta mampu merantasi hidup yang penuh tan-tangan dan persoalan. Deskripsi ini sebenarnya masih belum cukup untuk menggambarkan ketiga elemen tersebut.

4) AKTUALISASI DIRI:

Punya tujuan yang terus direalisasikan dengan mengembangkan potensi. Tandanya antara lain: memiliki langkah hidup yang dinamis, punya kemauan belajar, berani bereksperimentasi ide-ide baru, tetap memiliki perhitungan, membutuhkan orang lain namun tidak mengandal-kan mereka. Atau dengan kata lain, orang yang belum menemukan Ingsun Sejatinya akan kurang bisa berperan sesuai dengan dirinya dan lingku-ngannya karena terhalangi oleh penilaian yang meminderkan dirinya atau penilaian yang mengoverkan dirinya sehingga menjadi sombong atau berlebihan. Itulah kenapa, menurut penulis buku Healing The Child Within, Dr. Charles L. Whitfield, M.D (1989), kalau kita ingin tahu the real self kita, lihatlah anak-anak kecil yang terbebas dari rasa minder dan over ketika bereksplorasi atau mengembangkan diri (free to grow, to develop, dst).

 MENUJU URIP SEJATI

Definisi Urip (Hidup) Sejati tidak tunggal dan tidak bisa ditung-galkan juga. Kalau mau pakai yang pasti benarnya, Urip Sejati itu adanya nanti setelah kita meninggal dunia atau di negeri akhirat dimana ruang untuk memilih dan mem-perjuangkan sudah tidak dibuka. Tapi, untuk konteks hidup di dunia ini, pengertian Urip Sejati itu yang benar memang tidak pernah ada titiknya, karena dunia sendiri itu ruang untuk berpro-ses.

Jika dikembalikan pada nilai-nilai spiritual Jawa, Urip Sejati itu baru akan terwujud saat kita sudah sanggup menjalani hidup di alam Kasunyatan di dunia ini. Kasunyatan sendiri artinya the true reality  yang merupakan esensi dari diri kita dan dunia ini. Seperti kita tahu, baik kita dan dunia ini mengandung realitas yang materi (beserta symbol-nya, seperti uang, pekerjaan, dst) dan realitas non-materi (beserta represent-tasinya, seperti nilai, prinsip, Tuhan, dst). Begitu kita sudah mulai belajar (berproses) untuk menjalani hidup berdasarkan realitas materi dan non-materi, maka kita sudah berada pada jalur hidup yang menuju Urip Sejati.

Kalau niat kita kerja hanya untuk mencari materi saja, itu belum Urip Sejati. Sama juga kalau kita menga-baikan materi dengan lari ke gunung. Yang SEJATI adalah materi dan non-materi dengan menempat-kan diri kita sebagai kawulo bagi Tuhan dan penguasa bagi diri sendiri atau ber-topo (tapa/meditasi).

Dari sini bisa dipahami bahwa alam Kasunyatan sendiri tak ber-tepi atau lebih tepatnya bisa disebut ruang hampa yang menawarkan kesempatan berproses tak terbatas, sesuai kemampuan dan keterbatasan kita masing-masing. Biasanya, padanan dari KASUNYATAN adalah KADONYAN, yang diambil dari kata donyo atau duniawi. Duniawi sendiri, kalau merujuk ke asal katanya dari bahasa Arab, adalah pendek, rendah, atau dekat. Orang yang hanya berkonsentrasi untuk urusan duniawi semata disebutnya orang yang berjiwa pendek, memperjuangkan sesuatu yang tidak mulia atau hanya berpikir untuk sesuatu yang nyata-nyata saja (dekat).

Nah, paham hidup duniawi ini menjadi lawan dari paham hidup keimanan (kasunyatan). Karena itu, dalam agama dikatakan bahwa syarat untuk menjadi orang yang bertakwa adalah mengimani yang tidak nyata (the invisible), seperti nilai-nilai, prinsip hidup yang sudah pasti benarnya menurut siapapun, Tuhan, dan lain-lain. BERTAKWA adalah bahasa lain dari JUMBUHING KAWULO GUSTI.

Mudah-mudahan Allah Subhaanahu Wata’aala memberikan taufiq pada kita semua untuk istiqamah dalam agama yang telah dibawa Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Semoga ada hikmah yang bisa diambil. Marilah Setiap detak-detik jantung, selalu kita isi dengan Asma Teragung diseluruh jagad semesta raya ini: “Subhanakallahumma wabihamdikaAsyadu Allahilaha illa Anta Astagfiruka wa’atubuillaih”

             Untuk mendapatkan proses meningkatkan potensi diri, sebaiknya Anda meneruskan membaca buku INGSUN SEJATI yang sedang saya susun agar Anda memperoleh pencerahan bagaimana Anda mengaktivasi DOA dengan melakukan senergi tiga otak dan aktivasi pikiran bawah sadar sehingga Anda merasakan terbukanya INDRA KE-ENAM sebagai indra intuisi yang diberikan oleh Allah ta’ala melalui GURU SEJATI.